Dalam
perkembangan dunia pemikiran modern di Barat, khusunya Eropa dan Amerika
Serikat sebagai Negara yang mewakili perkembangan pemikiran modern saat ini telah
mendeklarasikan kekuasaannya melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
di barengi dengan aksi penaklukan terhadap Negara-negara berkembang di asia dan
terlebih kawasan Timur Tengah meliputi Mesir, Irak, Baghdad, Iran dan
sebagainya yang tak lain sebagai kawasan pusat sejarah peradaban Islam.
Terlepas
deklarasi kekuasaan itu mengatasnamakan ideologi dan agama tertentu, aksi
penaklukan oleh Negara satu kepada Negara lain atau dari agama satu terhadap
agama lain merupakan ketegangan politik yang sudah berlangsung sejak ribuan
tahun yang lalu dengan tujuan menjadi satu-satunya pusat kekuatan dan peradaban dunia.
Dalam
konteks kekuasaan sebagaimana di atas, baik Islam maupun Barat sama-sama pernah
melakukan penaklukan, ekspansi politik dan merebut puncak kekuasaan dunia. Islam pada era klasik,
dimana ia menguasai atas perkembangan pengetahuan, strategi militer, ekonomi
dan sebagainya,
Islam melakukan ekspansinya meliputi afrika utara
sampai ke spanyol di Barat dan Persia sampai ke india Timur. Sebaliknya ketika
penguasaan atas pengetahuan, strategi militer, ekonomi dan sebagainya berada
ditangan Barat, praktis kemudian (imprealisme Barat yang dimulai sejak perang
salib) penguasaan Barat
atas Timur selalu menindih kehidupan dan kemerdekaan manusia Timur.
Pada
konteks persinggungan yang
demikian, istilah kajian Barat terhadap Timur yang disebut Orientalisme menjalankan misi proyektifnya untuk mengenali lebih baik
perkembangan, kelebihan dan kekurangan Islam. dan ia merupakan sebuah
pengetahuan tentang Timur, Suatu proyek, ensiklopedi kekuasaan Barat mengenai Timur. Orientalisme
merupakan suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan
epistemologis antara Timur dan (hampir selalu) Barat. Tidak ada yang membantah
atau meragukan jika kajian tentang keTimuran ini sarat dengan Hidden Agenda meliputi jaringan kekuasaan eropa dan
amerika serikat. Mereka (Barat) tidak pernah menganggap Timur sebagai sesuatu
yang ada dengan sendirinya, sebaliknya Timur adalah penemuan terbaik, unik dan
eksotis.
Sedangkan lawan dari
Orientalism tersebut adalah Okseidentalisme. Bagi Hassan
Hanafi oksidentalisme bukan proyek “kekuasaan”, melainkan sebuah kajian oleh Timur terhadap Barat, yang
mengupayakan kesamaan hak kehidupan, kebebasan, dan peradaban diantara bangsa
lainnya, terlebih mengangkat moral dan derajat umat Islam yang dianggap
terpuruk oleh dominasi Barat. Dan dapat dikatakan, Hassan Hanafi merupakan salah satu penggerak modernisme
Islam dan masyarakat tertindas untuk berani berkompetisi dengan kedigdayaan yang
dimiliki oleh Barat.
Terkait dengan
kemajuan bangsa Barat di satu sisi dan keterbelakangan bangsa Timur inilah
kemudian Hassan Hanafi mencurahkan gagasan briliannya melalui berbagai
karya-karya pemikiran yang dituangkan dalam sebuah tulisan Kiri Islam.
untuk menguatkan kiri
Islamnya tersebut ia bertopang pada tiga pilar dalam mewujudkan revolusi
tauhid, salah satunya Oksidentalisme yakni tepatnya sebagai anti-tesa
Orientalisme dalam rangka mengakhiri mitos kekuasaan yang bersumber pada peradaban
Barat.
Gagasan Oksidentalisme
Hassan Hanafi
merupakan suatu terobosan pemikiran tentang ke-Islam-an dengan lirik pembelaan
terhadap rakyat kecil pada umumnya dan khususnya Islam yang mengalami
keterbelakangan dalam berbagai bidang penting kehidupan modern yang sudah lama
dikuasai Barat bahkan hingga saat ini. Secara konvensional Hanafi memperkirakan
kejatuhan Islam terjadi sejak peralihan kekuasaan dari Mu’tazilah pada Asy’ariyah,
praktis Islam pada zaman pertengahan meninggalkan kejayaan peradaban yang
pernah dimiliki sebelumnya. Meski abad-20 dikatakan sebagai abad modern agama Islam,
namun fakta mengatakan hingga kini umat Islam tetap berada dibawah kuasa
nasibnya, dari keterbelakangan baik ekonomi maupun pengetahuan.
Untuk
mengatasi persoalan ini, Hassan Hanafi menyerukan ummat muslim meninggalkan
kebiasaan asy’ariyah dan mulai berfikir “rasionalisme” guna merevitalisasi
khazanah Islam dan bangkit dari keterbelakangan menuju kemajuan dan
kesejahteraan muslim serta memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Dari pada itu juga
dengan oksidentalismenya Hassan Hanafi (sebagaimana yang dilakukan kaum
orientalis) membagi Islam dan non-Islam masing-masing menjadi Timur dan Barat.
Artinya manusia Barat dengan Timur tidak akan dapat bersanding membangun sebuah
perdamaian dunia? Pada penulisan ini tidak menuduh oksidentalism Hassan Hanafi
bergaya dialektika Hegelian (teas, anti teas dan sintesa) dan bercorakkan
pemikiran rasionalism Barat yang sering mempertentangkan benar-salah,
reason-unreason kaya-miskin dan seterusnya. Selain karena kekaguman hanafi
terhadap dahsyatnya perkembangan konstruksi pemikiran yang terjadi di Barat dan
itu bertentangan dengan realitas yang ada di Timur. Sehingga kecenderungan
untuk meniru atau mengikuti kecenderungan rasional terkadang dilakukan tanpa
sadar.
Rasionalisme
sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, turut andil menciptakan benih-benih
sikap individualistis. Suatu gejala lahirnya liberalisme dan kapitalisme di Barat.
Hal ini pernah disinggung
oleh Michel Foucault dalam pemikiran strukturalismenya: sebagai
matinya manusia akibat
munculnya pengetahuan. Abad renaissance dan klasik,
disebut Foucault sebagai pembentukan diri kelas-kelas menegah eropa. Mereka
menciptakan peraturan dan permainan untuk menegaskan kelas-kelas sosialnya.
Membentuk pengadilan, polisi, dan penjara dengan sederetan wacana-wacana
diskursif yang salah satunya berfungsi untuk meredam pemberontakan kelas bawah
di satu sisi, formalisasi pemikiran dan sterilisasi kota dari budak, lepra,
gila dan orang miskin di sisi lainnya.
Di
tengah perkembangan industri, mereka membuat suatu pemilahan mulai dari kelas
sosial (kaya dan miskin), kesehatan, serta tidak segan mempertentangkan antara
yang rasional dengan unreason. Menempatkan yang terpinggir di
luar kota-kota kaum borjuis yakni disebuah barak, penjara, asylum, juga
melayarkan mereka yang tersisih pada negeri asing kemudian terusir dari dunia
rasional sehingga begitu seterusnya kelas bawah tidak memiliki tempat yang
layak selain di daerah pembuangan.
Hal
diatas merupakan uraian singkat kuasa dalam perspektif Foucault, sekaligus
bukti keberhasilan dan kegagalan proyek “rasionalisme”, sebuah pengetahuan yang
berkembang di era modern dan yang dipelajari oleh hampir seluruh ras manusia di
muka bumi baik Islam maupun non Islam untuk menemukan jalan keluar dari bermacam problematika kehidupan sosial,
agama dan seterusnya.
Tanpa
bermaksud untuk mengecilkan usaha Hassan Hanafi dalam mengangkat martabat Islam
seutuhnya di hadapan Barat, justeru usaha rasionalisme akan menjebak umat Islam
untuk melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan Barat
terhadap Islam dan bangsanya. Serta usaha oksidentalisme Hassan Hanafi dalam
mempertentangkan antara kutub Timur dan Barat, justeru akan memperpanjang
jurang kesenjangan yang tak berkesudahan antara Timur dan Barat.
Wacana
oksidentalisme Hassan Hanafi adalah yang brilliant di zamannya, tapi tidak di
zaman sekarang. Artinya oksidentalisme, proyek ensiklopedi kekuasaan kurang
relevan dan akan membawa umat pada tragisme. Disamping wacana oksidental akan
menjadi suatu kekuatan bagi Timur untuk berkompetisi dalam segala level, jika
bukan sebuah jebakan pemikiran, ia akan menciptakan tindakan negatif baru,
yakni memelihara atau memperpanjang sentiment kekuasaan antara Islam dan non Islam
dengan berbagai cara, sehingga umat Islam, khususnya Islam di Indonesia
terkungkung dalam wacana ke-Islam-annya sendiri.
Barat
dan Timur merupakan
entitas berbeda, meski demikian tidak harus menjauhkan keduanya dari ruang
diplomatik untuk tidak harus bersitegang dalam konteks teologi. Timur telah
membentengi diri dengan peradaban yang mereka ciptakan
sendiri, begitu juga dengan Barat, sehingga yang ada adalah sinergisitas antara
peradaban dan manusianya.
Dan bukan suatu hal yang baru jika orientalisme diposisikan sebagai suatu
strategi untuk menguasai kebudayaan, pengetahuan Timur, sebaliknya, bagaimana mungkin proyek oksidentalisme (Hassan
Hanafi) menyatakan
tujuannya bukan misi “kekuasaan” (selain sebagai kajian
pengetahuan, sejajar-seimbang
dengan Barat) sedangkan dalam wacana dan pengetahuanlah Power of Knowledge kekuasaan tersebut di introdusir untuk menciptakan
penundukan yang sistematis.
Meski
wacana oksidentalisme tidak henti-hentinya mencoba untuk meyakinkan umat muslim
jika entitas yang berasal dari tradisi, budaya dan peradaban yang berbeda
antara Barat dan Timur tidak akan pernah beriringan karena watak atau kesadaran
eropa dibentuk
dengan watak rasialis, egois, egosentris yang mendorong terjadinya imprealisme
dan zionisme. Diakui atau tidak memang demikian watak kehidupan manusia eropa,
dan keseluruhannya tidak dapat di lepaskan dari sejarah panjang kebudayaan dan
struktur keilmuan Barat sejak renaisance hingga modern yang ditengarai
belakangi pembentukan internal manusia eropa yang tengah mengalami gegar dini
peradaban (baca: Fathurrozy, Skripsi; konsep genealogi Michel Foucault dan
implikasinya terhadap pemikiran Islam).
Namun
demikian kurang beralasan jika wacana oriental dan oksidental menjadi salah
satu alasan untuk menyulut pertempuran yang tiada akhir antara Barat dan Timur.
Selain sangat logis jika ia sebagai proses pemahaman atas dunia Barat dan Timur
(tanpa harus melakukan pemisahan yang sangat serius dan dilematis seperti reason
dan unreason pada masa klasik di eropa), sebagai suatu peradaban yang
dapat menarik keduanya pada panggung pertempuran dan kekuasaan yang tidak
berujung. Jika pun
oksidentalisme hassa hanafi tetap berkelakar sebagai wacana kajian Islam (bukan proyek
kekuasaan) yang dapat
memacu upaya pembenahan umat Islam ataupun bangsa-tanah air akibat penjajahan
kaum oriental, setidaknya upaya pembebasan “Islam” dari kekangan Islamisme
merupakan suatu usaha yang lain dan utama untuk mengeluarkan Islam dan suatu
bangsa dari keterbelakangan.
Post
secara harfiah sebagaimana lazimnya dapat diartikan: melampaui, melangkahi dan
seterusnya. Namun dalam konteks ini “post” diambil artiannya menjadi “lupakan”.
Dengan begitu post Islamisme kami definisikan sebagai suatu usaha untuk
melupakan Islam sebagai satu-satunya yang penting dan yang harus diutamakan.
Post Islamisme menganggap Islam sebagai episteme
(pengetahuan pada suatu waktu yang tidak hidup pada satu “melampaui” zaman)
Baca: Michel Foucault, arkeologi of knowledge) dari pada menjadikan Islam
sebagai sebuah ideology yang membatasi ke-maha-luasan episteme Islam. Post Islamisme juga merupakan suatu wacana untuk melupakan Islam,
sebuah agama yang dominan yang mengeliminasi agama lain selain Islam. Dan pada konteks kajian ini, post Islamisme
memandang Barat sebagai kompetitor, teman bertanding. Post Islamisme berbeda
dari oksidentalisme yang cenderung reaksioner dalam menyikapi tantangan Barat.
Dengan demikian tanpa bermaksud memberikan definisi dan melampaui pemikiran
brillian para elit, akademisi dan sebagainya. Pada konteks kajian pemikiran
Islam ini, maka Post Islamisme menganggap Timur sebagai tumpukan persoalan yang
belum selesai. Artinya
persoalan dalam Islam khususnya Islam indonesia bukanlah ekonomi, pendidikan, kebebasan sebagaimana yang
didengungkan pemikir besar semisal Hassan Hanafi (akan tetapi Hassan Hanafi
dengan seluruh karyanya merupakan sosok penggerak bagi kemajuan Islam di tengah
kekuatan besar yang dimiliki oleh Barat di zaman modern). Namun begitu,
tumpukan persoalan yang sebenarnya, khususnya Islam indonesia adalah terletak
pada “Islam” sendiri sebagaimana Islam normatif Wahabi, Hizbuttahrir, FPI, Kammi
dan terlebih terorisme (Terorisme adalah nama lain dari
Bentuk sterilisasi kaum borjuis terhadap masyarakat miskin, lepra di eropa
zaman klasik yang kemudian menjadi senjata penguasa era modern dalam
menyingkirkan masyarakat miskin dari panggung kehidupan modern) yang mengatasnamakan agama dan Tuhan-nya. Dan dapat dikatakan,
golongan yang disebut diatas merupakan ancaman serius dunia
Islam khususnya Islam
indonesia dalam menegakkan nilai produktif manifestasi pancasila dan
menggerakkan roda episteme
yang terdapat dalam
al-quran dan as-sunnat untuk kemajuan bangsa.
Oksidentalisme Hassan
Hanafi adalah hasil uji fikir yang terbaik dalam membawa laju umat Islam hamper
sejajar dengan
kedigdayaan yang dicapai oleh Barat, namun pada konteks ini persoalan politik
tidak hanya mengenai kekuasaan yang tunggal, dan bercita utopis sebagaimana
tujuan dan nada pembelaan kajian Timur terhadap Barat. Lebih
dari itu terdapat
hubungan antar kekuasaan yang saling mendominasi dari satu pada yang lain. Dan
post Islamisme disini tak lebih dari wacana untuk membebaskan umat Islam dari Islamisme
yang membelenggu umat muslim dalam memanifestasikan teks-teks ketuhanan yang
terdapat dalam alquran.
Oleh karenanya, untuk
membangun sebuah peradaban dengan terhormat, dan keluar dari keterbelakangannya (ekonomi, pendidikan, budaya dsb)
umat muslim harus mampu
keluar dari ke-Islam-annya (secara countur), karena episteme Tuhan yang luas dalam setiap
lafadz-lafadznya menyimpan energi besar bagi terciptanya suatu perubahan. Barat
tidak lagi menjadi persoalan fundament bagi Islam, kalaupun terdapat intervensi politik yang berujung pada
invasi politik Barat pada negara Islam tak lebih dari sekedar kompetisi atas
nama kehidupan yang berujung pada penguasaan atas segala sumber daya kehidupan
di dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam: sejarah pemikiran dan gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
2. Kazuo
Shimozaki, Kiri Islam: Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi, Antara Modernisme dan Post Modernisme. (Yogyakarta:
LKiS, 1997).
3. Hassan Hanafi: Oksidentalisme, Sikap kita terhadap
tradisi Barat. Jakarta: Paramadina, 2000.
4.
Edward W. Said:
Orientalisme, menggugat hegemoni Barat dan mendudukkan Timur sebagai
subyek. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
5.
Hassan Hanafi:
Oksidentalisme, Sikap kita terhadap tradisi Barat. (Jakarta: Paramadina, 2000).
6.
Michel Foucault, The
Order of Thing, arkeologi ilmu-ilmu
manusia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
7.
Michel Foucault. Power
of Knowledge. (Yogyakarta: Bentang, 2002)
8.
Michel Foucault:
Seks dan Kekuasaan, Sejarah Seksualitas.
Jakarta: Gramedia, 1997.
Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam,
(Ja