Kamis, 10 Oktober 2013

POST ISLAMISME: MATINYA OKSIDENTALISME HASSAN HANAFI



Dalam perkembangan dunia pemikiran modern di Barat, khusunya Eropa dan Amerika Serikat sebagai Negara yang mewakili perkembangan pemikiran modern saat ini telah mendeklarasikan kekuasaannya melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di barengi dengan aksi penaklukan terhadap Negara-negara berkembang di asia dan terlebih kawasan Timur Tengah meliputi Mesir, Irak, Baghdad, Iran dan sebagainya yang tak lain sebagai kawasan pusat sejarah peradaban Islam.
Terlepas deklarasi kekuasaan itu mengatasnamakan ideologi dan agama tertentu, aksi penaklukan oleh Negara satu kepada Negara lain atau dari agama satu terhadap agama lain merupakan ketegangan politik yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu dengan tujuan menjadi satu-satunya pusat kekuatan dan  peradaban dunia.
Dalam konteks kekuasaan sebagaimana di atas, baik Islam maupun Barat sama-sama pernah melakukan penaklukan, ekspansi politik dan merebut  puncak kekuasaan dunia. Islam pada era klasik, dimana ia menguasai atas perkembangan pengetahuan, strategi militer, ekonomi dan sebagainya, Islam melakukan ekspansinya meliputi afrika utara sampai ke spanyol di Barat dan Persia sampai ke india Timur. Sebaliknya ketika penguasaan atas pengetahuan, strategi militer, ekonomi dan sebagainya berada ditangan Barat, praktis kemudian (imprealisme Barat yang dimulai sejak perang salib) penguasaan Barat atas Timur selalu menindih kehidupan dan kemerdekaan manusia Timur.
Pada konteks persinggungan yang demikian, istilah kajian Barat terhadap Timur yang disebut Orientalisme menjalankan misi proyektifnya untuk mengenali lebih baik perkembangan, kelebihan dan kekurangan Islam. dan ia merupakan sebuah pengetahuan tentang Timur, Suatu proyek, ensiklopedi kekuasaan Barat mengenai Timur. Orientalisme merupakan suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis antara Timur dan (hampir selalu) Barat. Tidak ada yang membantah atau meragukan jika kajian tentang keTimuran ini sarat dengan Hidden Agenda meliputi jaringan kekuasaan eropa dan amerika serikat. Mereka (Barat) tidak pernah menganggap Timur sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya, sebaliknya Timur adalah penemuan terbaik, unik dan eksotis.
Sedangkan lawan dari Orientalism tersebut adalah Okseidentalisme. Bagi Hassan Hanafi oksidentalisme bukan proyek “kekuasaan”, melainkan sebuah kajian oleh Timur terhadap Barat, yang mengupayakan kesamaan hak kehidupan, kebebasan, dan peradaban diantara bangsa lainnya, terlebih mengangkat moral dan derajat umat Islam yang dianggap terpuruk oleh dominasi Barat. Dan dapat dikatakan, Hassan Hanafi merupakan salah satu penggerak modernisme Islam dan masyarakat tertindas untuk berani berkompetisi dengan kedigdayaan yang dimiliki oleh Barat.
Terkait dengan kemajuan bangsa Barat di satu sisi dan keterbelakangan bangsa Timur inilah kemudian Hassan Hanafi mencurahkan gagasan briliannya melalui berbagai karya-karya pemikiran yang dituangkan dalam sebuah tulisan Kiri Islam. untuk menguatkan kiri Islamnya tersebut ia bertopang pada tiga pilar dalam mewujudkan revolusi tauhid, salah satunya Oksidentalisme yakni tepatnya sebagai anti-tesa Orientalisme dalam rangka mengakhiri mitos kekuasaan yang bersumber pada peradaban Barat.
Gagasan Oksidentalisme Hassan Hanafi merupakan suatu terobosan pemikiran tentang ke-Islam-an dengan lirik pembelaan terhadap rakyat kecil pada umumnya dan khususnya Islam yang mengalami keterbelakangan dalam berbagai bidang penting kehidupan modern yang sudah lama dikuasai Barat bahkan hingga saat ini. Secara konvensional Hanafi memperkirakan kejatuhan Islam terjadi sejak peralihan kekuasaan dari Mu’tazilah pada Asy’ariyah, praktis Islam pada zaman pertengahan meninggalkan kejayaan peradaban yang pernah dimiliki sebelumnya. Meski abad-20 dikatakan sebagai abad modern agama Islam, namun fakta mengatakan hingga kini umat Islam tetap berada dibawah kuasa nasibnya, dari keterbelakangan baik ekonomi maupun pengetahuan.
Untuk mengatasi persoalan ini, Hassan Hanafi menyerukan ummat muslim meninggalkan kebiasaan asy’ariyah dan mulai berfikir “rasionalisme” guna merevitalisasi khazanah Islam dan bangkit dari keterbelakangan menuju kemajuan dan kesejahteraan muslim serta memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Dari pada itu juga dengan oksidentalismenya Hassan Hanafi (sebagaimana yang dilakukan kaum orientalis) membagi Islam dan non-Islam masing-masing menjadi Timur dan Barat. Artinya manusia Barat dengan Timur tidak akan dapat bersanding membangun sebuah perdamaian dunia? Pada penulisan ini tidak menuduh oksidentalism Hassan Hanafi bergaya dialektika Hegelian (teas, anti teas dan sintesa) dan bercorakkan pemikiran rasionalism Barat yang sering mempertentangkan benar-salah, reason-unreason kaya-miskin dan seterusnya. Selain karena kekaguman hanafi terhadap dahsyatnya perkembangan konstruksi pemikiran yang terjadi di Barat dan itu bertentangan dengan realitas yang ada di Timur. Sehingga kecenderungan untuk meniru atau mengikuti kecenderungan rasional terkadang dilakukan tanpa sadar.
Rasionalisme sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, turut andil menciptakan benih-benih sikap individualistis. Suatu gejala lahirnya liberalisme dan kapitalisme di Barat. Hal ini pernah disinggung oleh Michel Foucault dalam pemikiran strukturalismenya: sebagai matinya manusia akibat munculnya pengetahuan. Abad renaissance dan klasik, disebut Foucault sebagai pembentukan diri kelas-kelas menegah eropa. Mereka menciptakan peraturan dan permainan untuk menegaskan kelas-kelas sosialnya. Membentuk pengadilan, polisi, dan penjara dengan sederetan wacana-wacana diskursif yang salah satunya berfungsi untuk meredam pemberontakan kelas bawah di satu sisi, formalisasi pemikiran dan sterilisasi kota dari budak, lepra, gila dan orang miskin di sisi lainnya.
Di tengah perkembangan industri, mereka membuat suatu pemilahan mulai dari kelas sosial (kaya dan miskin), kesehatan, serta tidak segan mempertentangkan antara yang rasional dengan  unreason. Menempatkan yang terpinggir di luar kota-kota kaum borjuis yakni disebuah barak, penjara, asylum, juga melayarkan mereka yang tersisih pada negeri asing kemudian terusir dari dunia rasional sehingga begitu seterusnya kelas bawah tidak memiliki tempat yang layak selain di daerah pembuangan.
Hal diatas merupakan uraian singkat kuasa dalam perspektif Foucault, sekaligus bukti keberhasilan dan kegagalan proyek “rasionalisme”, sebuah pengetahuan yang berkembang di era modern dan yang dipelajari oleh hampir seluruh ras manusia di muka bumi baik Islam maupun non Islam untuk menemukan jalan keluar dari bermacam problematika kehidupan sosial, agama dan seterusnya.
Tanpa bermaksud untuk mengecilkan usaha Hassan Hanafi dalam mengangkat martabat Islam seutuhnya di hadapan Barat, justeru usaha rasionalisme akan menjebak umat Islam untuk melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan Barat terhadap Islam dan bangsanya. Serta usaha oksidentalisme Hassan Hanafi dalam mempertentangkan antara kutub Timur dan Barat, justeru akan memperpanjang jurang kesenjangan yang tak berkesudahan antara Timur dan Barat.
Wacana oksidentalisme Hassan Hanafi adalah yang brilliant di zamannya, tapi tidak di zaman sekarang. Artinya oksidentalisme, proyek ensiklopedi kekuasaan kurang relevan dan akan membawa umat pada tragisme. Disamping wacana oksidental akan menjadi suatu kekuatan bagi Timur untuk berkompetisi dalam segala level, jika bukan sebuah jebakan pemikiran, ia akan menciptakan tindakan negatif baru, yakni memelihara atau memperpanjang sentiment kekuasaan antara Islam dan non Islam dengan berbagai cara, sehingga umat Islam, khususnya Islam di Indonesia terkungkung dalam wacana ke-Islam-annya sendiri.
Barat dan Timur merupakan entitas berbeda, meski demikian tidak harus menjauhkan keduanya dari ruang diplomatik untuk tidak harus bersitegang dalam konteks teologi. Timur telah membentengi diri dengan peradaban yang mereka ciptakan sendiri, begitu juga dengan Barat, sehingga yang ada adalah sinergisitas antara peradaban dan manusianya. Dan bukan suatu hal yang baru jika orientalisme diposisikan sebagai suatu strategi untuk menguasai kebudayaan, pengetahuan Timur, sebaliknya, bagaimana mungkin proyek oksidentalisme (Hassan Hanafi) menyatakan tujuannya bukan misi kekuasaan (selain sebagai kajian pengetahuan, sejajar-seimbang dengan Barat) sedangkan dalam wacana dan pengetahuanlah Power of Knowledge kekuasaan tersebut di introdusir untuk menciptakan penundukan yang sistematis.
Meski wacana oksidentalisme tidak henti-hentinya mencoba untuk meyakinkan umat muslim jika entitas yang berasal dari tradisi, budaya dan peradaban yang berbeda antara Barat dan Timur tidak akan pernah beriringan karena watak atau kesadaran eropa dibentuk dengan watak rasialis, egois, egosentris yang mendorong terjadinya imprealisme dan zionisme. Diakui atau tidak memang demikian watak kehidupan manusia eropa, dan keseluruhannya tidak dapat di lepaskan dari sejarah panjang kebudayaan dan struktur keilmuan Barat sejak renaisance hingga modern yang ditengarai belakangi pembentukan internal manusia eropa yang tengah mengalami gegar dini peradaban (baca: Fathurrozy, Skripsi; konsep genealogi Michel Foucault dan implikasinya terhadap pemikiran Islam).
Namun demikian kurang beralasan jika wacana oriental dan oksidental menjadi salah satu alasan untuk menyulut pertempuran yang tiada akhir antara Barat dan Timur. Selain sangat logis jika ia sebagai proses pemahaman atas dunia Barat dan Timur (tanpa harus melakukan pemisahan yang sangat serius dan dilematis seperti reason dan unreason pada masa klasik di eropa), sebagai suatu peradaban yang dapat menarik keduanya pada panggung pertempuran dan kekuasaan yang tidak berujung. Jika pun oksidentalisme hassa hanafi tetap berkelakar sebagai wacana kajian Islam (bukan proyek kekuasaan) yang dapat memacu upaya pembenahan umat Islam ataupun bangsa-tanah air akibat penjajahan kaum oriental, setidaknya upaya pembebasan “Islam” dari kekangan Islamisme merupakan suatu usaha yang lain dan utama untuk mengeluarkan Islam dan suatu bangsa dari keterbelakangan.
Post secara harfiah sebagaimana lazimnya dapat diartikan: melampaui, melangkahi dan seterusnya. Namun dalam konteks ini “post” diambil artiannya menjadi “lupakan”. Dengan begitu post Islamisme kami definisikan sebagai suatu usaha untuk melupakan Islam sebagai satu-satunya yang penting dan yang harus diutamakan. Post Islamisme menganggap Islam sebagai episteme (pengetahuan pada suatu waktu yang tidak hidup pada satu “melampaui” zaman) Baca: Michel Foucault, arkeologi of knowledge) dari pada menjadikan Islam sebagai sebuah ideology yang membatasi ke-maha-luasan episteme Islam. Post Islamisme juga merupakan suatu wacana untuk melupakan Islam, sebuah agama yang dominan yang mengeliminasi agama lain selain Islam. Dan pada konteks kajian ini, post Islamisme memandang Barat sebagai kompetitor, teman bertanding. Post Islamisme berbeda dari oksidentalisme yang cenderung reaksioner dalam menyikapi tantangan Barat. Dengan demikian tanpa bermaksud memberikan definisi dan melampaui pemikiran brillian para elit, akademisi dan sebagainya. Pada konteks kajian pemikiran Islam ini, maka Post Islamisme menganggap Timur sebagai tumpukan persoalan yang belum selesai. Artinya persoalan dalam Islam khususnya Islam indonesia bukanlah ekonomi, pendidikan, kebebasan sebagaimana yang didengungkan pemikir besar semisal Hassan Hanafi (akan tetapi Hassan Hanafi dengan seluruh karyanya merupakan sosok penggerak bagi kemajuan Islam di tengah kekuatan besar yang dimiliki oleh Barat di zaman modern). Namun begitu, tumpukan persoalan yang sebenarnya, khususnya Islam indonesia adalah terletak pada Islam sendiri sebagaimana Islam normatif Wahabi, Hizbuttahrir, FPI, Kammi dan terlebih terorisme (Terorisme adalah nama lain dari Bentuk sterilisasi kaum borjuis terhadap masyarakat miskin, lepra di eropa zaman klasik yang kemudian menjadi senjata penguasa era modern dalam menyingkirkan masyarakat miskin dari panggung kehidupan modern) yang mengatasnamakan agama dan Tuhan-nya. Dan dapat dikatakan, golongan yang disebut diatas merupakan ancaman serius dunia Islam khususnya Islam indonesia dalam menegakkan nilai produktif manifestasi pancasila dan menggerakkan roda episteme yang terdapat dalam al-quran dan as-sunnat untuk kemajuan bangsa.
Oksidentalisme Hassan Hanafi adalah hasil uji fikir yang terbaik dalam membawa laju umat Islam hamper sejajar dengan kedigdayaan yang dicapai oleh Barat, namun pada konteks ini persoalan politik tidak hanya mengenai kekuasaan yang tunggal, dan bercita utopis sebagaimana tujuan dan nada pembelaan kajian Timur terhadap Barat. Lebih dari itu terdapat hubungan antar kekuasaan yang saling mendominasi dari satu pada yang lain. Dan post Islamisme disini tak lebih dari wacana untuk membebaskan umat Islam dari Islamisme yang membelenggu umat muslim dalam memanifestasikan teks-teks ketuhanan yang terdapat dalam alquran.
Oleh karenanya, untuk membangun sebuah peradaban dengan terhormat, dan keluar dari keterbelakangannya (ekonomi, pendidikan, budaya dsb) umat muslim harus mampu keluar dari ke-Islam-annya (secara countur), karena episteme Tuhan yang luas dalam setiap lafadz-lafadznya menyimpan energi besar bagi terciptanya suatu perubahan. Barat tidak lagi menjadi persoalan fundament bagi Islam, kalaupun terdapat intervensi politik yang berujung pada invasi politik Barat pada negara Islam tak lebih dari sekedar kompetisi atas nama kehidupan yang berujung pada penguasaan atas segala sumber daya kehidupan di dunia.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: sejarah pemikiran dan gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
2.      Kazuo Shimozaki, Kiri Islam: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Antara Modernisme dan Post Modernisme. (Yogyakarta: LKiS, 1997).
3.      Hassan Hanafi: Oksidentalisme, Sikap kita terhadap tradisi Barat. Jakarta: Paramadina, 2000.
4.      Edward W. Said:  Orientalisme, menggugat hegemoni Barat dan mendudukkan Timur sebagai subyek. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
5.      Hassan Hanafi: Oksidentalisme, Sikap kita terhadap tradisi Barat. (Jakarta: Paramadina, 2000).
6.      Michel Foucault, The Order of Thing, arkeologi ilmu-ilmu manusia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
7.      Michel Foucault. Power of Knowledge. (Yogyakarta: Bentang, 2002)
8.      Michel Foucault: Seks dan Kekuasaan, Sejarah Seksualitas.  Jakarta: Gramedia, 1997.
Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam, (Ja

Rabu, 09 Oktober 2013

Golkar Lemah, Akbar Belum Akui Ical sebagai Capres Partai Golkar



 

Sebagai salah satu tokoh besar yang memiliki loyalitas terhadap partainya, ketua dewan pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung mengatakan akan mengevaluasi berbagai persoalan Partai Golkar dalam rapimnas yang rencana akan digelar 28 Oktober 2013.
Menurutnya, dalam rapimnas nanti “Partai Golkar akan mengevaluasi pelaksanaan dari berbagai putusan-putusan seperti soal kaderisasi, implementasi program termasuk mengenai pencapresan ARB sebagai capres, sudah sejauh mana kemajuannya?, Sejauh mana progress kaderisasi, dan progress suara golkar dengan motto suara rakyat?”. Ujar Akbar Tanjung saat diwawancarai di Wahid Institute 26/9/2013. Ketika ditanya soal wacana siapa cawapres Partai Golkar. Akbar Tanjung mengatakan “akan menunggu hasil pilleg terlebih dahulu, membiarkan wacana-wacana yang berhembus tentang siapa yang akan menjadi cawapres Partai Golkar”.
Bagi Akbar Tanjung, menuju 2014 nanti  “Partai Golkar bertekad meraih dukungan 30 persen yang itu harus betul-betul dipersiapkan dengan baik-baik. strategi yang betul, program yang tepat, strategi yang tepat, itulah yang harus kita lihat sejauh mana perkembangannya, dan itu yang harus kita capai”.
Mengingat jebloknya elektabilitas Partai Golkar dalam beberapa bulan terakhir, dengan demikian wacana evaluasi dari mantan Ketua DPR yang sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar tersebut bisa menjadi bola liar selama pra-rapim, karena pada rapimnas seluruh persoalan dalam tubuh partai akan dibahas, dievaluasi dan diputuskan secara final. (RR/RR)

KPK: ALAT SKENARIO POLITIK PENGUASA NEGARA

 Drama operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Akil mochtar (AM) telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang sempat mendapatkan apresiasi Masyarakat di era kepemimpinan Mahfud, MD. Namun demikian, operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK di rumah dinas Akil Mochtar sarat dengan konspirasi karena berkaitan dengan berbagai keputusan-keputusan sengketa Pilgub dan Pilkada di sejumlah daerah. Selain persoalan politis yang ramai beredar, ditemukannya sejumlah obat terlarang berupa dua pil sabu berwarna hijau dan ungu yang mengandung zat metamfetamin dan empat linting ganja, yang tiga di antaranya ditemukan dalam kondisi utuh, sedang satu sisanya ditemukan dalam kondisi bekas pakai seolah mempertegas hancurnya paradigma masyarakat terhadap lembaga hukum tertinggi Negara. Kejadian diatas memunculkan berbagai spekulasi. disatu sisi (ditemukannya obat terlarang) menambah daftar kesalahan AM, juga sekaligus meneguhkan asumsi negatif masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi. sedangkan spekulasi lainnya adalah menganggap kasus operasi tangkap tangan dan obat terlarang sebagai konspirasi penguasa tertentu melaui KPK. Dengan demikian seluruh kejadian diatas memunculkan banyak telaah yang salah satunya menjurus pada drama kekuasaan Negara yang sarat dengan skenario besar dan kepentingan menjelang tahun politik. Pasalnya bereangkat dari ironi atas jenis gerakan yang dilakukan KPK dalam memberantas korupsi. Dalam setahun terakhir hampir semua elit yang ditangkap oleh KPK secara bergantian mengarah kepada (penyingkiran) salah satu tokoh terhadap tokoh lainnya, dari satu partai politik kepada partai politik lainnya. Jelas jenis gerakan tersebut bukan sebuah kebetulan, melainkan bersumber pada seorang penguasa Negara yang sebetulnya ingin menunjukkan kuasa pada semua lawan politiknya. (RR/RR)